Wangi Parfum Ayah


Kami tinggal di sebuah dusun kecil bernama Kampung Madani. Sebelumnya tempat ini merupakan hutan belantara. Sejak tahun 1999 tempat tinggal kera, biawak, trenggiling, beruang, ular, dan makhluk hutan lainnya ini dirambah dan dijadikan permukiman relokasi pengungsi. Kala itu terjadi kerusuhan sosial Sambas yang berujung pembantaian dan pengusiran terhadap etnik Madura. Jadilah kami Pengungsi di dalam negeri.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Borneo melalui Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) kemudian memindahkan para pengungsi-setelah sempat ditampung di berbagai penampungan di Kota Hantu-ke relokasi di Kampung Madani. Benar-benar merambah hutan.
Dengan disediakan sebuah rumah kayu berukuran 4 X 6 meter ditambah lahan pekarangan seluas setengah hektar dan lahan pertanian seluas satu hektar serta bantuan biaya hidup selama tiga bulan. Konon ada 500 unit rumah untuk 500 kepala keluarga dengan sebuah rumah ibadah, tempat pertemuan, dan puskesmas pembantu.

Semula kami tinggal di sebuah kampung di pesisir Sambas. Walaupun tidak tergolong keluarga berada tapi hidup kami terasa berkecukupan. Sehari-hari orang tua kami bertani dan berternak. Kami memiliki kebun kelapa, kopi, dan pisang. Kalau lagi musim, kami juga mendapat penghasilan dari menjual buah durian, rambutan , sukun, dan petai. Kebun itu terhampar di pekarangan rumah kami.
Ayah dan Ibuku bekerja merawat kebun. Biasanya berangkat kerja di pagi hari, siang istirahat, sholat zhuhur dan makan siang, turun lagi dan pulang di waktu ashar. Setelah ashar biasanya Ibu masih sempat mengarit rumput untuk pakan ternak sapi. Kadang juga di pagi harinya begitu pulang istirahat ibu sambil menjunjung rumput. Tetangga kami juga umumnya berkebun seperti kami. Sebagian ada yang mendapat penghasilan dari menoreh kebun karet dan mengolah hasil hutan.

Sementara bagi Ayah, sore istirahat di rumah sambil waktunya digunakan untuk membetulkan lampu strongking buat persiapan malamnya anak-anak tetangga mengaji di musholla rumah kami. Di kampung kami listrik belum masuk sampai ke rumahku. Listrik baru sampai di pertengahan kampung. Rumah kami letaknya agak jauh ke dalam kampung melalui jalan setapak. Di kiri-kanannya berjejer pohon kelapa. Di waktu hujan jalanan juga becek.
Sebagai penerang waktu malam, kami menggunakan lampu strongking dan petromak berbahan bakar minyak tanah. Ayah dipanggil Ustadz. Dari ujung ke ujung kampung orang kenal yang namanya Ustadz Ahmad.

Hampir seluruh warga di kampungku belajar mengaji kepada Ayah. Anak-anak yang mengaji di sini tidak dipungut biaya khusus kecuali sumbangan suka rela untuk beli minyak tanah dan peralatan lampu lainnya kalau sewaktu-waktu rusak. Selain guru ngaji Ayah kadang juga jadi khatib di masjid kampungku. Baik khatib sholat Jum’at maupun sholat Idul Fitri dan Idul Adha.
Yang kusuka dan selalu terkenang dari Ayah kalau lebaran tiba, wangi parfumnya. Wangi minyak hajar aswad.

Sampai di suatu pagi hari minggu di bulan April tahun 1999 kampung kami diserang dan dibumi hanguskan oleh para milisi berikat kepala warna-warni, bahkan ada yang bertopeng ala ninja dengan bersenjatakan tombak, parang, dan senjata api.

^^^^^
Di Kampung Madani kami memulai segala sesuatunya dari nol. Lebih dari itu, bahkan aku dan keluargaku memulai hidup dari minus. Kendatipun secara materi kami memulai hidup dari minus, tapi di tempat ini Tuhan terasa begitu sangat dekat. Ayat-ayat Tuhan semakin lantang berkumandang, tanda-tanda kuasa Tuhan lebih sering tampak dan terasa.
Ketika omber pajjher lagghu[1] Tuhan memerintahkanku untuk segera bermain peran, sampai tiba compet areh[2], Tuhan menyuruhku istirahat.
”Sudah subuh, bangun Cong[3]” suara Ayah memanggil sambil menggedor dinding kamar.

Berat sekali rasanya membuka mata. Aku baru tertidur sekitar tiga jam. Perjalanan dari Kota ke Madani cukup melelahkan, selain jaraknya yang cukup jauh, kondisi jalan juga becek dan berbatu. Batuk Ayah yang nyaris tanpa henti semalaman tidak pula membuat tidurku nyenyak. Dingin begitu terasa dari pantulan tanah gambut yang menyelinap dari kolong rumah melalui celah-celah lantai papan.
Walaupun berat kupaksa untuk membuka mata dan segera bergegas menuju parit kecil di depan rumah. Dengan harapan setelah shalat subuh aku bisa tidur lagi.
”Duh, Ayah kok tak henti-hentinya batuk sambil ngomel pada Tuhan lagi”. Gumamku dalam hati.
”Allah, astaghfirullah. Silahkan ya Allah, kalau masih ada penyakit ini Engkau berikan semua padaku. Aku rela asal tolong jangan timpakan penyakit seperti ini pada anak-anakku. Karena aku khawatir mereka tidak mampu menanggungnya, mereka tidak sabar sehingga mereka kufur kepada-Mu. Cukuplah penyakit ini kutanggung sendiri”. Begitulah kira-kira ungkapan cinta Ayah kepada anak-anaknya dalam do’a kepada Tuhan setiap malamnya. Sering sekali aku mendengarnya. Kemudian batuk dan batuk lagi. Sesekali Ayah sambil membuang ingus dan menyeka air matanya, entah karena menangis atau karena batuknya terlalu kuat.

”Cong, kalau sudah selesai shalat tolong pijitkan punggung Ayah”. Pintanya padaku. Segera aku menghampirinya. Pupus harapanku untuk tidur lagi.
Punggung Ayah hangat dan berkeringat. ”ini tolong lapkan keringatnya”. Ayah membelakangiku sambil menjulurkan tangannya menyerahkan handuk kecil. Seraya memijit sesekali aku mengelapkan punggungnya yang tertunduk menghadap qiblat.
”Aku ingin toron[4], pulang ke Malang kangen dengan keluarga di sana, terus nanti pulangnya singgah ke Madura. Aku masih punya tana sangkolan[5] di Madura, dulu waktu mau merantau ke sini tanah itu aku gadaikan ke Nasar. Nanti kalau kamu punya uang kita tebus, terus kita jual untuk biaya adik-adikmu sekolah”. Kata Ayah sambil terbatuk-batuk.

Ayah berasal dari Malang. Ayahnya, kakekku dulu merantau dari Madura ke Malang. Ayah punya cita-cita ingin menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki. Seusai menamatkan pendidikannya di pesantren salafiyah di Malang, setelah mendapat restu dari kedua orang tuanya Ayah mulai mengembara, sampai kemudian tiba, berjodoh dengan ibuku dan menetap di Sambas.
”Nanti insyaAllah saya punya uang saya akan biayai Ayah. Yang penting sekarang Ayah sembuh dulu.”  Sahutku memberi harapan
”Kalau nanti kamu mampu tolong adikmu sekolahkan ya”. Pinta Ayah lagi.
”Itupun kalau kamu mampu, kalau kamu tidak mampu tak usah memaksakan diri”. Tambahnya
^^^^^
Pagi ini aku berniat mengajak Ayah ke rumah sakit. Sepertinya dia harus dirawat inap. Sebelumnya kami sudah dua kali memeriksakan penyakitnya ke Rumah Sakit Paru-Paru di Kota. Dengan batuk seperti ini aku khawatir Ayah terserang tuberkulosis. Setelah daftar, antri, periksa dahak, masuk ruang rontgen, pulang dengan sekantong obat tablet dan puyer, dan beberapa hari kemudian kami kembali lagi dapat penjelasan dari dokter bahwa hasil pemeriksaannya negatif, berarti Ayah tidak terkena TBC. Kemudian dokter menyarankan agar Ayah tidak merokok. Ayah memang sudah lama berhenti merokok. Kami pun melanjutkan perawatan mandiri di rumah dengan membekali Ayah obat hirup, pelega pernafasan. Tapi kali ini aku sungguh tak tega melihat Ayah tak henti-henti batuk semalaman. ”Kadang menjelang pagi baru bisa tertidur”. Kata Ibu sambil menyiapkan minuman dan bubur nasi agar Ayah dan aku sarapan dulu sebelum berangkat.

Dua piring bubur nasi sudah tersaji lengkap dengan dua gelas teh panas. Setelah selesai sarapan kami pun berpamitan kepada Ibu. Aku pun bergegas menyalakan sepeda motor yang kupinjam dari tetangga.
”Punya uang sepuluh ribu”, pinta Ayah.
”Buat apa?” tanyaku
”Untuk ngasih adikmu, Mahiz”. Jawabnya.
Kulihat adikku, Mahiz berdiri di pintu memandang kami di halaman rumah. Ibu lalu lalang di dalam rumah sambil bersiap-siap berangkat ke lahan pertanian.

Kami keluarga besar sepuluh bersaudara. Enam perempuan, empat laki-laki. Aku laki-laki tertua anak kedua. Kakakku perempuan dan kedua adikku juga perempuan semuanya sudah menikah dan tinggal di rumahnya sendiri dekat dari rumah kami.
Enam orang adikku masih duduk dibangku sekolah. Seorang laki-laki sudah kuliah semester dua di Kota. Seorang lagi laki-laki masih setingkat SMA di pondok pesantren Bangkalan, Madura. Seorang perempuan juga masih SMA di Bumi Galaherang. Mahiz baru lulus SD masih menganggur di rumah. Dia minta masuk pondok pesantren di Malang, sementara belum punya ongkos untuk berangkat jadi masih nunggu di rumah. Dua orang lagi perempuan masih SD di kampung ini.

Aku lebih sering tinggal di Kota. Ngekos bersama teman-teman sambil bekerja sebagai guru honorer di sebuah pondok pesantren. Biasanya pulang sebulan sekali, atau sewaktu-waktu kalau Ibu atau Ayah menyuruhku pulang.
”Udahlah, nanti aja pulangnya Mahiz saya kasih ” kataku.
Aku hanya punya uang dua puluh ribu Rupiah. Dengan sepeda motor buatan negeri Sakura ini, dari Madani ke Kota uang itu dalam hitunganku hanya cukup buat beli bensin saja.

Ayah kemudian bergegas menaiki jok motor duduk di belakangku. Kami berangkat menuju Rumah Sakit Umum di Kota.
Sebelum menuju rumah sakit kami bermaksud singgah di Puskesmas terdekat untuk meminta surat rujukan sebagai pasien tidak mampu agar di rumah sakit mendapat keringanan biaya perawatan.
Sisa genangan air di jalan membuat kami sesekali berhenti dan sambil terengah-engah Ayah turun dan berjalan kaki. Kadang aku masih menunggu Ayah selesai batuk baru melanjutkan perjalanan.

Sampai di Puskesmas Durian di luar dugaanku ternyata Puskesmas ini libur karena tanggal merah, libur nasional Hari Raya Nyepi. Dengan kondisi tanpa uang di tangan dan tanpa surat rujukan dari puskesmas aku tak berani membawa Ayah langsung ke rumah sakit. Ayah mengajakku pulang saja. Aku membujuknya bagaimana kalau Ayah nginap di rumah salah satu adikku yang sudah berkeluarga yang kebetulan lebih dekat ke Puskesmas. Ayah setuju.

Tiba di rumah adikku, Ayah langsung berbaring dan suami adikku segera mengambilkan bantal. Setelah minum teh aku pamit mau mengembalikan sepeda motor tetanggaku dan kemudian kembali ke Kota untuk kemudian besok pagi aku kembali lagi membawa Ayah ke rumah sakit. Sambil berbaring Ayah mengulurkan tangannya, aku pun segera menciumnya. Setelah kuisi bensin sepuluh ribu Rupiah dan mengembalikan sepeda motor. Dengan bekal sisa uang sepuluh ribu Rupiah aku kembali ke kosanku di Kota dengan naik oplet dari Kampung Durian. Sesampainya di kosan aku tak langsung tidur, tapi berpikir bagaimana besok punya uang untuk bawa Ayah ke rumah sakit.

^^^^^
Pagi ini aku bangun seperti biasa. Semalaman ikhtiar cari hutangan kepada teman-temanku tapi  mereka yang biasa kumintai bantuan pun lagi tak punya uang. Ini memang lagi tanggal tua, 30 Maret 2006.
Aku bingung mau cari pinjaman kemana lagi. Hampir semua temanku sudah kutelepon atau ku-sms untuk kumintai bantuan. Pagi ini pun aku coba pencat-pencet nama teman-teman di handphone-ku. Siapa tahu masih ada yang bisa kuhubungi. Aku mondar-mandir kesana kemari. Mau mandi pun rasanya malas. Temanku, Adi sedang duduk ngetik di depan komputer.

Tiba-tiba handphone-ku berdering. Ternyata telepon dari adikku. Buru-buru segera kuangkat.
“Abang dimana?” tanya adikku.
“Aku masih di kosan, ada apa?”
“Cepatlah, kayaknya Ayah makin parah batuknya”
“Iya”, jawabku singkat langsung menutup pembicaraan. Segera aku bergegas mandi. Sekedar menyegarkan badan, tanpa sabun. Yang penting sikat gigi.

^^^^^
“Bung, ente mau kemana?” tanyaku pada Adi sambil mengenakan baju-celana.
“Ndak, disini jak ngetik laporan nih” jawabnya.
“Aku pinjam motor ente ya?. Ayahku sakit mau kubawa ke rumah sakit”.
“Bawa aja, aku tak kemana-mana kok”.
“Bensinnya ada ndak?”.
“Ada bung, masih banyak”.
Aku harus pastikan bensinnya cukup karena aku tak punya uang untuk beli bensin.
Perjalanan dari Pontianak ke rumah adikku diperkirakan akan kutempuh sekitar satu jam.

Di tengah perjalanan handphone-ku berdering lagi. Kulihat dari adikku lagi.
Bercampur deru sepeda motor kudengar suara adikku meninggi menanyai keberadaanku. “Iya, udah di jalan hampir sampai” jawabku cepat sambil buru-buru kututup pembicaraan.
Lagi-lagi handphone-ku berdering. Agar cepat sampai, telepon itu kuabaikan saja. Berdering lagi dan lagi enteh berapa kali.
Aku terus memacu kencang motorku.
Sesampainya di depan rumah adikku, kulihat sudah ramai orang. Aku pun segera masuk. Tangis riuh keluargaku memenuhi ruangan rumah ini. “Ayah sudah meninggal Bang”. Kata adikku. Kulihat Ayah sudah terbujur di pangkuan Ibu. Jantungku berdetak kencang. Air mataku tumpah.

“Kita harus ikhlaskan Ayahmu”, Ibu terbata-bata.
“Maafkan aku, Bu”
“Iya, tadi ayahmu juga bilang, dia sudah memaafkan kita semua. Dari kemaren perasaanku sudah tidak enak. Pulang dari lahan aku segera mengejar ke sini. Ini hari Jum’at, hari kelahiran ayahmu”, kata Ibu.
Roda kehidupan terasa terlalu kencang. Ayah yang kemaren masih bisa mengulurkan tangannya untuk kucium, kini sudah tak kuasa mengangkat tangannya.
Sedikitpun aku tak mengira kalau kalimat malam itu ternyata wasiat terakhir seorang Ayah kepada anak lelaki tertuanya. Ayah berpulang dalam keadaan tenang. Raut mukanya seperti tidur biasa. Hari itu, Jum’at 31 Maret 2006 bertepatan dengan 1 Rabiul Awal 1427 Hijriah.

^^^^^
Saat Idul Adha seperti ini, bersama kumandang takbir di pagi yang berembun, ingatanku menyelinap ke masa kecil di kampung, kami berjalan beriringan menuju masjid, Ayah di depan menyandang surban di bahu dengan kelebat wangi parfumnya, minyak hajar aswad.


[1] Bahasa Madura, terbit fajar pagi.

[2] Matahari tenggelam

[3] Kependekan dari kata Kacong, bahasa Madura, Panggilan untuk anak laki-laki.

[4] Artinya, Turun, istilah untuk mudik ke Madura. Lawan katanya ongghe, naik, istilah untuk menyebut orang yang berangkat (keluar) dari Madura.

[5] Tanah pusaka, tanah warisan.
Share on Google Plus

Tentang Unknown

Lahir di Karimunting, Sungai Raya Kepulauan, Sebuah desa di Pesisir Bengkayang Kalimantan Barat. Bertumbuh kembang dari situasi sosial Kalimantan Barat yang kadang adem ayem, kadang menegangkan, kadang mencekam, dan kadang kabut asap. Kini tinggal di Relokasi SP 1 Madani, Mekar Sari, Sungai Raya Kubu Raya.
Diberdayakan oleh Blogger.