Rindu Mudik

15 Ramadhan 1432 H.
Malam ini. Rintik hujan membuatku terbangun dari tidur. Suasana masih terasa gerah. “Cobalah hujan lebat sekalian”, gumamku. Kuraih handphone yang terletak tidak jauh dari tempat tidurku. Sengaja kuletakkan ia dekat dengan kami tidur agar tatkala alarm yang sudah kustel berbunyi aku dan atau isteriku terbangun untuk persiapan makan sahur. Biasanya isteriku lebih dulu terjaga dan bergegas ke kamar mandi lantas menuju dapur untuk mempersiapkan santap sahur. Kulihat jam menunjukkan pukul 01.35. Masih terlalu awal. Stelan alarm kupasang tepat jam 03.00. Kami biasanya sahur jam 03.30 atau telatnya jam 04.00. Isteriku pun rupanya terbangun.

Kedua buah hati kami masih terlelap. Si sulung, Aldo terlihat tidur memeluk bantal guling kesayangannya. Usianya memasuki 3 tahun 6 bulan. Adiknya, Elsya juga masih tidur, di sisinya terbaring boneka berambut pirang kesukaannya pemberian bibinya yang baru pulang dari Arab Saudi. 2 tahun kini usianya. Kedua buah hati berjenis kelamin laki-laki dan perempuan ini menambah kebahagiaan kami. Kendatipun masih tinggal di rumah kontrakan.

“Aku ingat Karimunting. Ngape ye?” . Kataku, pakai dialek Melayu Pontianak.
“Ngape beh?” tanya isteriku dengan dialek Melayu Sambas.
Di rumah kami memang terbiasa dalam kesehariannya pakai bahasa campur baur. Biasanya pakai bahasa Melayu Pontianak, karena memang saat ini kami tinggal di Pontianak. Kadang pula bahasa Melayu Sambas, bahasa Ibu isteriku. Bahasa kampung asalku. Kadang bahasa Madura, bawaan dari keluargaku. Dalam obrolan keseharian di rumah sudah terbiasa aku pakai bahasa Madura atau bahasa Melayu Pontianak, isteriku menjawab dengan bahasa Melayu Sambas atau sebaliknya. Kadang ketiganya bisa kami ucapkan bersamaan dalam satu kalimat penuh harmoni. Dan kami pahami.

Malam ini aku teringat suasana Ramadhan di Karimunting. Kampung halamanku. Desa di pesisir Kabupaten Bengkayang itu terlalu menyimpan banyak kenangan indah yang tak mudah kulupakan. Setiap kali kepergok kata “Kampung halaman”, Karimuntinglah yang keluar dari memoriku. Setiap kali melihat anak-anak berseragam Sekolah Dasar (SD) dan aku ingat masa kecilku, di Karimuntinglah masa itu kulalui. Bersama teman-temanku.

Saat menonton film “Laskar Pelangi” ingatanku kembali ke masa 20 tahun lalu, masa pergi sekolah berkayuh sepeda di Karimunting. Tempat yang alamnya mirip alam Pulau Belitung itu. Pernah kulihat sekumpulan anak pelajar mengendarai mobil pick up pawai keliling kota dengan mengacungkan tropi juara. Disanalah, di Madrasah Tsanawiyah Karimunting aku pertama kali mengangkat tropi juara saat kesebelasan Madrasah Tsanawiyah Karimunting menjuarai kompetisi sepak bola tingkat SLTP dalam rangkat Dirgahayu Kemerdekaan RI. Dan kala itu akulah striker dan kapten kesebelasannya.
Desa multikultur, berbagai suku bangsa, aneka budaya dan agama berkembang secara damai di sana. Toleransi, gotong royong, hidup saling menghormati, jangan-jangan dari Karimunting asalnya. Dan kamilah pelaku sejarahnya.

Karimunting. Di sana tempat lahir beta bersaudara. Kami duabelas bersaudara, lima orang laki-laki dan tujuh orang perempuan. Dua orang saudaraku meninggal sejak masih bayi. Tinggallah kami sepuluh bersaudara. Empat orang laki-laki dan enam orang perempuan. Aku anak kedua tertua. Laki-laki.

“Gimane kabar Mbah ye? Kasian die” . Kutahan air mataku yang hendak keluar. Mataku terasa ngilu. Isteriku memandangiku.
“Kallak mun abang ade duit paggik lah bang” kata isteriku.
“Kesian die tinggal sorang, ajakki’ kesittok jak” tambahnya.

***
Tahun itu, 1999. Kampungku dilanda kerusuhan rasialis. Berawal dari jebolnya jantung peradaban Sambas. Gerakan pembersihan etnik terjadi di seantero Sambas. Amarah menjalar begitu cepat bak api dalam gambut. Di suatu hari minggu kelabu, kampungku diserang gerombolan milisi bersenjata api, panah, dan tombak. Sebagian mencirikan ikat kepala warna kuning, sebagian lagi warna merah. Sebagian menutupi kepalanya ala ninja. Kebanyakan mereka kalangan anak muda.
Dua orang tetangga yang juga keluargaku menjadi korban dan tak tahu dimana mayatnya. Setelah tak mungkin lagi bertahan, kami sekampung harus diungsikan. Bukannya menghalau penyerang yang membabi buta memburu kami dan membakar rumah-rumah kami. Tentara malah memaksa kami untuk diangkut keluar kampung. Apa yang bisa diraih oleh tangan kami, itulah yang terbawa serta.

Dengan pengawalan tentara itu kami diangkut menggunakan truk. Sebagian menuju barak militer di Kota Singkawang, sebagian lagi diangkut menuju Kota Pontianak. Dalam kepanikan itu yang terlihat dari iringan truk militer nun di kampungku hanya kepulan asap pekat membubung ke udara. Sepanjang perjalanan kulihat konsentrasi massa dengan mengacungkan senjata sambil berteriak, “Usir Madura”.

Truk militer ini terasa sesak. Selain manusia isinya juga ada beras, pakaian dan perlengkapan kerja lainnya. Tangis riuh anak-anak bercampur kokok ayam. Keringat melebur dengan air mata. Sebagian anak-anak sudah tertidur dipangkuan orang tuanya. “Kalau ada diantara ibu bapak yang mau menuju ke rumah keluarganya, silahkan. Ini pengungsian sementara. Kita akan kembali lagi nanti setelah suasana aman terkendali”. kata salah seorang tentara yang mengawal kami.

Memasuki kawasan Mempawah truk berhenti dan sebagian dari kami minta turun. Termasuk Mbah. Setelah menurunkan beberapa keluarga, perjalanan dilanjutkan. Sampai di Desa Peniraman ibuku meminta turun. Kami menuju rumah keluarga yang terletak di lereng gunung Peniraman. Truk pun melanjutkan perjalanan menuju Pontianak.
Sejak hari itu kami tak lagi sekampung. Belakangan baru sebagian tetanggaku kuketahui tempat tinggalnya. Sebagian menetap di Kota Singkawang, sebagian di Mempawah. Sebagian menetap di Kota Pontianak, Kubu Raya dan ada juga yang pindah ke Pulau Madura. Kami sekeluarga akhirnya menetap di sebuah hutan yang kelak jadi perkampungan madani.

Biasanya kami akan ketemu sebagian diantara tetangga kampung dulu kalau ada diantara kami yang meninggal dunia. Kalau kebetulan ketemu satu sama lain akan saling mengobrol tentang kampung halaman, tentang kabar tetangga lainnya, dan tentang tetangga kampung yang membantu mengamankan harta benda kami. Bahkan obrolan pun meluas sampai pada siapa diantara mereka tetangga kampung sebelah yang ikut-ikutan gerombolan massa penyerang.
Benar-benar tak mungkin lagi hidup sekampung.

Sejak perang saudara itu memporak-porandakan kampung kami, dan kami harus mengungsi, aku tak lagi ketemu Mbah. Dulu mereka hidup berdua. Rumahnya dekat rumahku. Kalau suatu waktu diantara mereka atau dua-duanya sakit, ibuku yang selalu bantu memasak dan mengemaskan rumahnya. Mereka bukan orang tua dari ibuku. Kami memanggilnya Mbah laki dan Mbah perempuan. Mbah laki keturunan Madura dan Mbah perempuan keturunan Melayu. Mbah laki itulah adik kandung Mbahku, ibu dari ibuku. Dulu sebelumnya mereka tinggal bertiga dengan cucu angkat kesayangan dari pihak Mbah perempuan. Atik, nama cucunya itu. Tapi sejak Atik bersuami dan dia harus ikut suaminya bekerja ke Kota, tinggallah Mbah hidup berdua. Sesekali Atik dan suaminya datang di saat mudik lebaran atau kalau mendapat kabar Mbah sakit.

***
20 hari sudah Ramadhan kami lalui tahun ini. Memasuki malam ke-21 Ramadhan ingatanku terhadap Karimunting semakin menggebu. Sejak siang hari ke-20 Ramadhan kami sekampung sibuk menyiapkan hidangan untuk malam selekoran . Setidaknya seekor ayam kampung disembelih sebagai menu hidangan lauknya. Atau bagi keluarga yang tergolong berada di kampung biasanya menunya gulai daging sapi. Di malam ini kami mengadakan selamatan doa bersama. Di masjid maupun di mushalla. Doa syukur karena sudah mampu melalui duapuluh hari puasa. Semacam “Refresh” agar kami tetap semangat mengisi sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagaimana ketika peggengan .

Sejak malam ini sampai malam terakhir kami harus menyiapkan diri untuk menyambut datangnya lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. Malam bertabur bonus pahala. Rentang waktunya sejak malam selekoran sampai malam terakhir Ramadhan. Karenanya harus disambut sepenuh hati. Seekspresif mungkin. Bapakku jarang sekali tidur kalau sudah memasuki masa ini. Beliau banyak mengaji dan membaca doa-doa. Pada keluarga Melayu di halaman rumahnya mereka memasang lampu penerang tambahan, terbuat dari bambu berisi minyak tanah dengan sumbu di atasnya. Kami menyebutnya Obor. Menambah indah pemandangan suasana Ramadhan. Dari kejauhan seperti iringan kunang-kunang. Tampak berkilauan di malam hari. Begitu pula di halaman rumah Mbah.

Di hari kedua puluh empat, ibuku akan memasak makanan dari bahan pulut atau ketan. Sore harinya makanan pulut itu akan dibagi-bagikan ke rumah tetangga. Sebaliknya para tetangga Madura akan membalas hal yang sama. Seberapa banyak makanan yang kami bagikan, sebanyak itu pula makanan yang akan kami terima. Tapi tidak pada tetangga Melayu. Kami hanya membaginya, tidak mendapat balasan serupa pada hari itu. Tiba malam Seghemi’an . Kami berkumpul di masjid atau mushalla kembali menggelar doa dan makan ketan bersama. Ketan merupakan simbol makanan yang baik. Harganya di atas rata-rata harga beras.

Malam berikutnya yang kami tunggu kini pun tiba. Malam Tujuh likur . Secara umum diyakini sebagai kemungkinan besar turunnya lailatul qadar. Bagi kami bersaudara ini saatnya makan kue pasung bikinan Mbah. Bagi keluarga Melayu di malam ini juga akan digelar doa dengan hidangan kue pasung. Sebagaimana pada seghemi’an, pada kesempatan tujuh likur ini keluarga Melayu akan membagi-bagikan kue pasung kepada tetangganya. Saatnya kami mendapat balasan kiriman kue pasung. Bagi keluarga Mbah, pada waktu seghemi’an akan memasak ketan dan pada tujuh likur akan bikin kue pasung.

Sebagai keluarga besar yang kebanyakan anak-anak seringkali kami rebutan kue pasung kiriman tetangga. Kadang bahkan terasa kurang. Dan di situlah letak kenikmatannya. Sampai dari kejauhan samar-samar kulihat Mbah perempuan menjunjung pinggan di kepalanya menuju ke rumahku. Dan Mbah akan membagi kue pasungnya kepada kami satu persatu.
***
Dua tahun lalu-tanpa sepengetahuan kami, Mbah dipanggil oleh mantan Tauke -nya untuk kembali bekerja mengurusi kebun jeruk milik si Tauke. Pekerjaan yang memang dilakoni Mbah sejak dulu sebelum tahun 1999. Saat jeruk menjadi primadona Sambas. Sepuluh tahun terpisah tak membuat hubungan Tauke-Kuli itu berubah sedikitpun. Di sana sudah disiapkan tempat tinggal. Berdua Mbah naik bis dari Mempawah menuju Karimunting. Lama tak dapat kabar. “Tentu Mbah sudah mulai menemukan hidup baru kembali dengan pekerjaan lamanya”. Pikirku sewaktu ingat mereka.

Sampai suatu dini hari setahun yang lalu handphone-ku berdering menghantar kabar dari tetangga Mbah bahwa dalam sakit tuanya, jam sepuluh malam itu Mbah laki dipanggil menghadap kepangkuan Yang Maha Kuasa. Dari Karimunting kembali di Karimunting. Ajal memang rahasia Tuhan. Sepuluh tahun lalu pergi meninggalkan kampung untuk menghindari kematian. Kembali lagi. Dan setahun kemudian Mbah laki meninggalkan Mbah perempuan yang telah setia mendampinginya selama 45 tahun. Sesuai keinginan semasa hidupnya, Mbah laki mohon dimakamkan di kampung ini juga. Tanah kelahirannya. Di pangkuan Mbah perempuan, Mbah laki mudik untuk selamanya.

***
Pagi ini aku berniat menemui Mbah.
Menyusuri jalanan pesisir selama tiga jam. Bis pagi tujuan Sambas yang kutumpangi berhenti persis di depan jalan masuk ke kampungku. Memasuki jalan kampung yang sudah tampak berubah, aku berpapasan dengan beberapa orang. Sebagian masih kukenal. Mereka tetanggaku dulu. Dengan ramah mereka menjawab salamku. Tak terlihat lagi sisa puing-puing rumahku.
Tiba di rumah Mbah. Saat mentari pagi menyunggingkan senyum di balik celah dedaunan pohon pisang yang menjuntai serasa menyapa dan mengajakku bersalaman.
“Ape kabar Mbah?” tanyaku sambil mencium tangannya yang sudah keriput. Tepat di atas lubang angin jendela rumah itu kulihat terpaku sebuah bingkai foto yang sudah mulai usang, di pinggirnya berukir gigitan rayap. Tak jelas lagi siapa yang ada dalam foto itu.
Dari jendela kupandangi pekarangan empat penjuru rumah Mbah. Serba berubah. Kini tak ada lagi kebun karet yang dulu seakan menjadi pagar belakang rumah Mbah. Kuarahkan pandanganku semakin ke timur. Menjauh. Tak ada lagi hutan semak belukar tempat kami dulu berburu kancil dan kijang. Yang tampak hanya hamparan kebun kelapa sawit sejauh mata memandang.

“Baik. Sape tok? ” sambil memicingkan matanya yang sudah tampak redup Mbah balik bertanya.
“Saye. Nak bawak Mbah ke Pontianak” . Jawabku dengan suara agak meninggi agar terdengar jelas oleh Mbah yang kukira sudah mulai mengalami gangguan pendengaran itu. Tapi ternyata pendengarannya masih cukup baik.
Dari arah dapur terdengar suara Atik meneriakkan kepada Mbah menyebut namaku dan nama ibu-bapakku.

“Nak kemane nong, Mbah dah nda’an kuat agik jalan tok. Ke parik dappan jak makai tongkat. Yang panting ummakmu sehat, salam jak dari Mbah” . “Do’akan Mbah panjang umur”. pintanya.
“Mun Mbah paggi ke Pontianak, sape yang nak jage kuburan Mbah lakimu. Kittak jak mun sampat liatti’ Mbah ke sittok” pintanya lagi. Tak kuat kutahan ngilu di mataku, kubiarkan air mataku mengalir.

“Buka’ di sittok jak i” Mbah menawarkan kepadaku
“Ye, mun nak dibuatkan kue pasung” pintaku bergurau.
“Tunggu kalla’ lah malam tujuh likur” . “Mbah buatkan banyak-banyak”. Timpalnya.

Kini. di hadapanku duduk tertegun seorang nenek tua dengan rambut warna putih nyaris sempurna di kepalanya. Warna yang menunjukkan usia senja. Sesenja penantianku yang tak mungkin kembali ke kampung halamanku ini. Akan halnya selekoran dan seghemi’an kami senantiasa menemukannya di kampung halamanku yang baru dengan ayam potong dan aneka makanan ketannya. Tapi kue pasung itu.
Aku bayangkan nun dari arah selatan Mbah menjunjung pinggan berisi kue pasung menuju ke rumahku. Dan membagikannya buat kedua buah hatiku.
Selamat idul fitri Mbah. Selamat idul fitri Karimunting. Pintaku, mohon ma’af lahir dan batin.

Pontianak, Seghemi’an Ramadhan 1432 H.
Share on Google Plus

Tentang Unknown

Lahir di Karimunting, Sungai Raya Kepulauan, Sebuah desa di Pesisir Bengkayang Kalimantan Barat. Bertumbuh kembang dari situasi sosial Kalimantan Barat yang kadang adem ayem, kadang menegangkan, kadang mencekam, dan kadang kabut asap. Kini tinggal di Relokasi SP 1 Madani, Mekar Sari, Sungai Raya Kubu Raya.
Diberdayakan oleh Blogger.