Transit di Masa Lalu

Jam 16.30 kapal mulai bergerak meninggalkan Pelabuhan Dwikora Pontianak. Sambil mengemaskan barang-barang bawaan kami bergantian menunaikan shalat asar, aku memilih fasilitas jama’ ta'khir, shalat zhuhur dengan asar sekalian di waktu asar. kami memilih tempat di Dek No. 4, kelas ekonomi, kalau hendak ke mushalla harus naik ke Dek No. 6. Para penumpang yang sebagian besar para santri yang baru mau masuk dan kembali ke pondok pesantren ini mulai menempati tempatnya masing-masing.


Perlahan mentari pun beranjak ke peraduannya. Terdengar pengumuman bahwa makan malam sudah tersedia, penumpang dipersilahkan mengantri. Lalu adzan maghrib pun berkumandang.

Suasana terasa gerah. Seorang ibu muda sibuk menenangkan bayinya yang terus menerus menangis, sepertinya si bayi kegerahan. Cleaning service hilir mudik melaksanakan tugasnya. Untuk kenyamanan penumpang kapal.
Tampak fasilitas dan manajemen kapal ini banyak perubahan sekaligus peningkatan. Mulai dari tiket yang sudah memakai hologram, penumpang harus menggunakan gelang yang dilengkapi barcode untuk bisa masuk ke ruang tunggu kemudian masuk ke kapal, sampai colokan listrik yang sudah terpasang di atas tempat tidur penumpang. Kapal yang usianya tak lagi muda ini di sana sini sudah tampak mengalami renovasi, cat, pintu WC yang baru, tong sampah, juga tampak besi yang mulai keropos. Penumpang pun tak lagi berjubel seperti dulu.

KM. Kelimutu. Konon ini kapal yang diperbantukan selama arus balik pascalebaran. Umumnya kapal yang melayani rute Pontianak-Surabaya itu KM. Bukit Raya atau KM. Lawit.
Dulu berapa pun penumpangnya naik dan berjubel jalan terus, sampai jalan pun susah. Dan tidak jarang memakan korban, nyawa penumpang melayang. Kini kebijakan baru lebih manusiawi, jumlah penumpang dibatasi. Sehingga tingkat keamanan pun bisa meningkat. Para petugas kapal datang memeriksa tiket penumpang satu persatu. Diumumkan pula bagi penumpang yang memiliki barang berharga disediakan safety box dan tidak dipungut biaya. Gratis. Walaupun masih saja ada yang usil. Seorang laki-laki paruh baya datang kepada kami, mengeluh baru saja kehilangan sandalnya saat menunaikan shalat asar di mushalla kapal.

Dari dulu selalu saja sang pencuri menjadi bagian dari penumpang. Biasanya mereka beroperasi saat penumpang lengah, ketika berdesakan naik ke kapal, saat di kamar mandi, dan saat turun dari kapal. Dari dulu sampai sekarang pula persoalan yang kuhadapi kalau naik kapal begini masih sama, mabuk. Kalau sudah mabuk, bawaannya kepala puyeng, resah gelisah, makan tak enak tidur tak nyenyak. Baru setelah diumumkan bahwa kapal satu jam lagi akan sandar di pelabuhan, saat itulah hati berbunga, jantung berdebar seolah sedang kasmaran dimana sang kekasih sedang menunggu di dermaga.

Hari ini rabu, 29 Juli 2015. Dalam perjalanan Pontianak ke Surabaya bersama santri-santri dan penumpang lainnya, suasana 15 tahun lalu itu kembali hadir.

Kala itu, saat kami menjadi korban sekaligus relawan pascatragedi Sambas 1999. Diantara persoalan kemanusiaan yang menyeruak adalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah. Baik mereka yang sudah menjadi yatim karena salah satu atau kedua orang tuanya terbunuh saat amuk massa terjadi, maupun mereka yang kedua orang tuanya masih hidup tetapi nyaris kehilangan segalanya. Lebih dari seratus ribu jiwa menjadi pengungsi. Mereka ditampung di berbagai penampungan di sekitar Kota Pontianak, Kabupaten Pontianak, dan Kota Singkawang.

Mereka tersebar di Asrama Haji didampingi relawan HIMMA (Himpunan Mahasiswa Madura) Kalimantan Barat, di GOR Pangsuma dan gudang Sungai Jawi didampingi relawan Gerakan Pemuda Ansor, di Stadion SSA didampingi relawan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), di GOR Bulutangkis didampingi relawan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), di GOR UNTAN didampingi relawan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), di Gudang Wajok didampingi oleh relawan MENWA (Resimen Mahasiswa) Satuan 602 STAIN Pontianak, di Marhaban Singkawang didampingi relawan HIMMA Singkawang, dan di beberapa kompi kesatuan tentara. Ada pula yang ditampung di rumah keluarganya masing-masing, seperti keluargaku, sebelum kemudian menghuni relokasi Madani, sempat ditampung keluarga di Peniraman, pindah ke Kubu Padi, pindah lagi ke Sungai Asam. Dan banyak pula yang pulang ke Madura, bagi yang masih memiliki keluarga di sana.

Karena banyaknya anak-anak usia sekolah yang terancam masa depannya dari tingkat sekolah dasar sampai menengah bahkan perguruan tinggi, sekolah-sekolah di sekitar Pontianak tak mampu menampung lagi. Banyak anak ditolak masuk sekolah. Yang mendesak bagi yang baru mau masuk, sudah kelas enam sekolah dasar (SD) atau kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) harus segera dicarikan solusi. Banyak keluarga yang tak lagi memiliki dokumen kependudukan karena hangus terbakar saat kerusuhan sehingga kadang menjadi kendala saat hendak mendaftarkan anaknya sekolah. Selain karena sekolah memang sudah penuh. Bahkan ada anak yang ditolak dengan pernyataan pihak sekolah, "Silahkan kalau mau sekolah di halaman, atau bawa bangku sendiri". Menyakitkan!

Pernah suatu waktu, ketika peringatan hari anak nasional, teman-teman mahasiswa yang sedang menggelar peringatan hari anak memberi kami kesempatan, anak-anak usia sekolah dasar kami bawa berunjuk rasa di bundaran tugu digulis Untan. Aku diminta untuk berorasi.
"Ini anak-anak korban kerusuhan, sesungguhnya anak kita juga, adik kita semua, anak-anak yang berhak atas masa depannya, anak-anak yang juga berhak mengenyam pendidikan yang layak. Tidak karena mereka pengungsi, tidak karena mereka orang Madura, lantas mereka boleh didiskriminasi, ditolak sekolah hanya karena tidak punya dokumen kependudukan. Ditolak karena tak ada bangku lagi. Pemerintah harus mencarikan solusi" Teriakku lantang di hadapan para demonstran dan lalu-lalang pengguna jalan raya itu.

Beberapa ulama dari Jawa dan Madura pun turun langsung meminta anak-anak untuk disekolahkan di pesantrennya. Dan banyak orang tua setuju. Daripada anak-anaknya keluyuran tak tentu arah di penampungan, tak jelas kemana arahnya, pulang ke kampung halaman tak bisa, mata pencaharian tak jelas, hidup seakan menunggu kematian pelan-pelan. Lebih baik anak dikirim ke pesantren saja. Sehingga kalau orang tuanya mau bekerja ke luar penampungan, ke luar kota, ke luar provinsi bahkan ke luar negeri tak lagi kepikiran anaknya. Tinggal mengirimkan biaya perbulannya.
Seorang bapak bahkan dengan lantang memasrahkan anaknya kepada kami. “Saya titip anak saya, Dik. Biar dia cari ilmu. Saya mau cari kerja ke Malaysia untuk biaya pendidikan anak-anak.  Lebih baik nyekolahkan mereka, daripada menumpuk harta kalau kerusuhan percuma, dibakar juga”. Dalam kekalutan jiwa, terjadi revolusi mental.

Kami, relawan diminta bantuan untuk mengantarkan mereka. Kami pun mengantar mereka secara bergantian. Ada yang berangkat, ada yang menjaga posko relawan. Diantara mereka yang masih kuingat, Lutfi Firdausi biasa dipanggil Bang Boyok, aku, Junaidi, Ahmad Shiddiq, kami mahasiswa STAIN Pontianak, Raudatul Ulum, Muniri, Muhammad, ketiganya mahasiswa FISIP Untan, Satuki dan Mohamad, mahasiswa Fakultas Hukum UPB, Ahmad Wari dan Dora Novitasari, keduanya mahasiswa Fakultas Ekonomi Untan, Sumarna, mahasiswa Fakultas Hukum Untan, satu lagi perempuan, biasa dipanggil Mak Inang, dia juga mahasiswa Untan. Yang lain saya lupa.

Seratus orang anak, kami pendamping sepuluh orang. Dua puluh lima anak, kami pendamping lima orang. Lima belas anak, kami pendamping lima orang. Kami mengantar mereka ke beberapa pondok pesantren di Madura, dari Bangkalan sampai Sumenep. Di pondok pesantren di Malang, Sidogiri Pasuruan, panti asuhan Muhammadiyah di Semarang, sampai pondok pesantren Assyafi'iyah dan Asshiddiqiyah di Jakarta. Ada yang salafiyah ada yang modern. Masing-masing ada yang menerima lima, sepuluh, sampai dua puluh lima anak.

Selanjutnya setelah mengantar mereka, kami biasanya tak langsung pulang. Kami masih jalan-jalan, mencari pondok pesantren mana lagi yang mau menerima mereka. Membangun akses bersama mahasiswa di Madura dan Jawa, termasuk santri dan mahasiswa asal Kalimantan Barat. Dan kadang sambil mengunjungi keluarga di Jawa atau rekreasi dari Bromo sampai ke Bali.

Berikutnya kami akan pulang, menyampaikan kepada orang tua atau keluarganya dimana anak mereka berada, dan menyampaikan informasi pondok pesantren yang akan menerima lagi. Biaya keberangkatan mereka kami peroleh dari berbagai pihak, ada bantuan pemerintah daerah, ada bantuan donatur, ada pula yang dikirim dari pondok pesantren yang hendak menerima mereka. Selanjutnya kalau ada yang mendaftar lagi kami akan bergantian mendampingi mengantarkan mereka ke pondok pesantren tersebut.

Banyak pengalaman menarik saat kami mengantar adik-adik itu.

Suatu hari, ibu menyuruhku pulang ke Madani. Tiba di rumah, sudah ada dua orang ibu paruh baya ngobrol bersama ibuku. Keduanya kukenal, mereka tetanggaku ketika di kampung dulu dan di relokasi kini. Rupanya kedua ibu itu mendengar kabar anaknya yang kami bawa hilang dari pondok. Herman dan Mat Tohir, namanya. Usianya lima belas tahunan. Kami pun segera mengecek mereka ke pondok pesantrennya di Malang. Kabar dari Kyai bahwa kedua anak itu raib tanpa izin, kabur entah kemana. Ibunya menuntut pertanggung jawaban kami. Sejujurnya kusampaikan kepada mereka kalau kami tak punya biaya. Setelah berunding mereka pun setuju patungan masing-masing lima ratus ribu rupiah.

Dengan berbekal ongkos satu juta rupiah itu aku pun berangkat naik KM Bukit Raya tujuan Surabaya. Asumsinya, bekal itu lima ratus ribu untuk tiket kapal pergi-pulang, dan lima ratus ribunya lagi untuk transportasi darat dan bekal selama pencarian mereka. Tiba di Malang setelah sowan ke Kyai, aku menemui teman-temannya di pondok. Menurut informasi teman-temannya , bahwa kedua anak itu tidak betah, dan berniat cari kerja untuk ongkos pulang ke Pontianak. Cari kerja kemana? Dengan bekal seminim itu kemana aku harus mencari mereka. Menurut salah seorang pengurus di pondok pesantren itu, katanya kalau ada orang naik kapal tanpa tiket biasanya diturunkan dari kapal. Kalau kapal tersebut terlanjur berangkat maka anak itu akan ditahan oleh pihak kapal. Dengan informasi itu, tak perlu waktu lama, esok paginya aku segera pamitan pada Kyai. Kuputuskan untuk mencari mereka ke Bawean. Rute KM Bukit Raya ketika itu biasanya, Pontianak-Bawean-Surabaya, sebaliknya, Surabaya-Bawean-Pontianak. Sebelum dari Surabaya balik ke Pontianak biasanya ada jeda dua hari melayani pelayaran ke pelabuhan lain.

Tiba di Tanjung Perak Surabaya aku langsung beli tiket jurusan Bawean. Masih kapal yang kutumpangi dua hari lalu. KM. Bukit Raya. Kali ini sebaliknya, Surabaya-Bawean-Pontianak. Saat di ruang tunggu biro jasa travel itu aku berkenalan dengan seorang pemuda asal Bawean, dia mahasiswa, kuliah di Malang. Sudah lupa siapa namanya. Mendengar ceritaku dia menawarkan kebaikan agar aku menginap di rumahnya selama di Bawean nanti. Orang baik datang tepat waktu. Tentu dengan senang hati kuterima. Karena kapal yang sama nanti baru ada dua minggu lagi. Cukup lama. Kecuali kalau mau naik kapal ke Gresik. Dari Gresik pulang melalui Semarang atau Jakarta. Tapi itu makan banyak biaya. Ini pertama kali aku ke Bawean. Tak banyak yang kutahu tentang pulau kecil itu selain bahasanya yang “Madura” dan masuk wilayah administrasi Kabupaten Gresik.

Jam 16.00 kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Sekitar enam jam perjalanan, kapal pun akan segera merapat di Bawean. Jam 22.00. Kami bersiap-siap hendak turun. Kapal tidak sandar di pelabuhan, tapi berhenti di tengah laut. Penumpang yang hendak naik dan turun akan diantar menggunakan kapal-kapal kecil. Menempel antar  dinding  kapal dan penumpang turun melalui tangga dari kapal besar ke kapal kecil. Begitu pula yang hendak naik.

Kami pun mendekati tangga turun. Maka sebelum penumpang turun dari kapal besar ke kapal kecil terlebih dahulu penumpang yang dari kapal kecil naik ke kapal besar. Diterangi lampu kapal, dari atas kami melihat penumpang yang hendak naik. Saat itulah sepertinya kulihat wajah yang kukenal. Ada titik terang di sana. Seterang air laut yang terkena pancaran lampu kapal. Di atas kapal kecil yang digoyang ombak laut malam itu. Ya, itu mereka, kedua anak yang kucari.  Seorang menggendong tas ransel, seorang lagi memikul kotak kardus. Aku pun segera memberi tahu pada anak muda Bawean itu bahwa itu mereka yang kucari.

Saat mereka mendekati pintu masuk kapal itu. Rasa gembira campur capek membuat mulutku seketika, “Hei.” Bentakku agak keras sampai penumpang lain menoleh ke arah kami. “Mau kemana, Bang?” Tanya mereka. “Cari kalian ini” Jawabku. Setelah bersalaman dengan anak muda Bawean itu, Aku pun segera masuk lagi ke kapal bersama kedua anak ini. Dan melapor kepada petugas di dalam bahwa aku akan melanjutkan perjalanan dengan membeli tiket tujuan Pontianak.

Di dalam kapal kutanya kenapa mereka kabur dari pondok dan sampai ke Bawean? Mereka cerita bahwa mereka tidak betah di pondok dan hendak pulang ke Pontianak tapi tidak punya biaya sehingga nekat menyelinap naik KM. Bukit Raya dan saat pemeriksaan tiket mereka tertangkap petugas. Sebagai konsekuensinya mereka diturunkan di Bawean. Dan selama di Bawean mereka ditampung oleh pegawai PT. PELNI di dekat pelabuhan sambil bekerja menjaga peternakan ayam miliknya sampai memiliki ongkos yang cukup untuk pulang. Mereka juga cerita kebaikan keluarga pegawai itu.

Sampai di Pontianak kami pun turun dan langsung pulang ke relokasi serta menyerahkan kedua anak itu kepada orang tua mereka masing-masing. Tapi sebelum tiba di rumah, mereka minta izin sebentar untuk beli oleh-oleh di minimarket Pasar Flamboyan Pontianak. Diantara yang mereka beli adalah parfum badan jenis semprot, perfume body spray. Sama-sama harga lima belas ribu rupiah. Yang satu ukuran kecil satunya lagi dapat yang ukuran besar. Tentu yang dapat ukuran besar dengan bangga merasa lebih beruntung. Ternyata setelah kulihat, yang ukuran kecil benar untuk pewangi badan, dan satunya lagi yang ukuran besar rupanya untuk pewangi ruangan. “Makanya, Cong. Sekolah biar pintar. Itulah disuruh mondok kabur.” Kataku sambil menahan tawa.

Pernah pula suatu ketika, saat kapal sudah berangkat meninggalkan pelabuhan Pontianak menuju Surabaya, setelah semuanya dirasa kemas, kami mulai mengecek satu-persatu, barang bawaan dan tentunya anak-anak yang kami bawa, ternyata jumlah anak lebih banyak dari tiket yang ada. Tiket yang ada 15 buah sementara jumlah anak 16 orang. Karena bekal yang pas-pasan kami pun harus cari aman. Dengan terpaksa dan harap-harap cemas, saat petugas datang memeriksa tiket, seorang anak yang posturnya agak kecil kami sembunyikan di kolong tempat tidur dihalangi kotak kardus bawaan kami. Sehingga saat petugas memeriksa satu persatu bahkan sampai jongkok melihat kolong tempat tidur tetap tidak ketahuan, terhalang kotak kardus itu. Kami pun lega. Penasaran kok bisa tidak sesuai. Setelah kami periksa satu persatu ternyata ada yang kakak beradik, dua-duanya mau ikut mondok tapi yang terdaftar satu orang.

Di lain waktu, ketika itu kami harus lewat jalur Pontianak-Semarang karena harus mengantar anak yang tujuan Semarang dulu baru beranjak ke rute berikutnya dan pulangnya nanti lewat Surabaya. Selama perjalanan dirasa normal saja. Sesampainya di pelabuhan Tanjung Mas Semarang, kami pun turun perlahan. Sampai di dermaga, menunggu angkutan darat datang, kami periksa kembali anak-anak satu persatu dan barang bawaannya. Tiba-tiba, Dora, sahabat kami sesama pendamping, menangis histeris, "anaknya hilang satu". Kami kaget bukan main. Suasana panik. Spekulasi muncul, apakah anak itu belum turun, atau jatuh ke laut saat dalam pelayaran.

Yang membuat kami lemas, kalau ternyata jatuh ke laut dalam perjalanan, bagaimana nasib kami, bagaimana kami harus mengabari keluarganya. Terlintas pula bagaimana reaksi keluarganya nanti. Dora terus-terusan menangis sambil mencak-mencak. "anak orang hilang, anak orang hilang. Gimana ini?" Salah seorang dari kami coba menenangkan suasana. Dan kami coba menghubungi posko relawan di Asrama Haji Pontianak. Setelah diabsen satu persatu sesuai data yang kami bawa, jumlah tiket 25 buah tapi anak yang ada kok cuma 24 orang. Dan ternyata, seorang anak tidak jadi berangkat. Kami pun tertawa terpingkal-pingkal. Dora pun tertawa sambil menyeka air matanya.

Dua-tiga tahun berikutnya mereka ada yang datang menemui kami. Ngobrol, cerita selama di pondok pesantren, memberi kabar keberadaan dan perkembangan belajarnya.

Kami pun sudah dengan kesibukan masing-masing. Sesekali kumpul, reunian. Bang Boyok, Shiddiq, Junai, dan aku, kami masing-masing sudah berkeluarga. Bang Ulum dan Wari melanjutkan studi pascasarjananya di Jakarta. Satuki sudah berkeluarga. Bang Mumun juga sudah berkeluarga dan jadi pengusaha. Sumarna, Mak Inang, juga sudah berkeluarga. Begitu pula Dora, sudah berkeluarga dan tinggal di Kota Singkawang.

Sampai pada suatu subuh yang dingin, Pontianak masih berselimut embun pagi, tahun 2007, kami mendapat kabar duka. Sahabat kami, Dora Novitasari telah berpulang ke rahmatullah. Kami kaget tak terkira. Melalui pesan berantai, kami berkumpul, rombongan pergi melayat ke Singkawang. Istriku yang kala itu sedang hamil tujuh bulan pun turut serta. Bahkan sahabat kami, Paryadi merelakan dua mobilnya sekaligus kami pakai berjejal melebihi kapasitas demi mengantar Dora ke peristirahatan terakhirnya. Padahal dua hari sebelumnya, dia masih bersama kami, dia sengaja datang dari Kota Singkawang menghadiri undangan kami, Halal bihalal Ikatan Keluarga Besar Madura Kalimantan Barat di Pontianak Convention Center. Masih segar diingatan kami dia berpakaian serba putih berkerudung rapi dengan senyum khasnya. Rupanya itu pamitan. Dan di KM. Kelimutu, Pontianak-Surabaya, ingatanku transit di tawa-tangis itu.
Share on Google Plus

Tentang Unknown

Lahir di Karimunting, Sungai Raya Kepulauan, Sebuah desa di Pesisir Bengkayang Kalimantan Barat. Bertumbuh kembang dari situasi sosial Kalimantan Barat yang kadang adem ayem, kadang menegangkan, kadang mencekam, dan kadang kabut asap. Kini tinggal di Relokasi SP 1 Madani, Mekar Sari, Sungai Raya Kubu Raya.
Diberdayakan oleh Blogger.