Air Mata Lebaran

sumber foto google
“Semestinya di hari bahagia ini tidak ada Lagi orang yang sedih dan menangis karena kekurangan makanan, tidak ada lagi saudara kita yang terluka hatinya karena tidak ikut merayakan lebaran”, penggalan seruan Khatib dari atas mimbar terlihat sambil sesenggukan sesekali menyeka air matanya dengan sorban hijau yang melingkari lehernya.

Pagi ini suasana khidmat. Khutbah idul fitri dari seorang ustadz paruh baya itu sangat menyentuh terasa, perlahan air mataku menetes membasahi pipi dan jatuh ke baju “taqwa” yang kupakai pagi ini. Segera aku lap menggunakan lengan bajuku. Aku malu kalau air mata ini dilihat buaya yang sedang berenang di sungai kapuas atau cicak yang merayap di langit-langit masjid ini.

Setiap kali aku bisa menangis, setiap kali pula aku bisa mengulangi kedurhakaanku kepada-Nya. Sandiwara hidup yang tak bosan-bosan tampil di pentas kehidupan terasa menjerembabkanku ke titik minus kemanusiaan pada hari ini. Kulihat di langit-langit masjid beberapa ekor cicak berseliweran. Aku curiga mereka sedang menonton pertunjukan “sandiwara taqwa” berjudul “air mata buaya” dengan lakon-lakon antagonisnya. Aku berharap cicak-cicak itu tidak menghinaku karena kejengkelannya lantas menumpahkan kencing dan beraknya di kopiah putih yang bertengger mantap di kepalaku.

***

Sejak terbenamnya matahari tanda berakhirnya ramadhan, suasana memang sudah terasa khidmat. Setelah adzan maghrib berkumandang, menyusul kabar adanya pengumuman dari Menteri Agama bahwa tanggal 1 Syawal 1430 Hijriyah jatuh pada hari Minggu, 22 September 2009, takbir kemenangan pun menggema diiringi alunan suara bedug bertalu-talu di seantero dan sekitar pinggiran kota. Hanya saja dua jam kemudian suasana khidmat ini berubah bising oleh ledakan petasan disusul dentuman meriam karbit di sepanjang aliran sungai Kapuas. Gemuruh takbir berkumandang dari moncong meriam karbit. Dan syiar pun redup di bawah hingar-bingar kembang api kemenangan malam itu.

Sore harinya seorang sahabatku yang baru tiba mudik dari ibukota bersama keluarganya mengajakku menonton pertunjukan festival meriam karbit di pinggiran sungai kapuas.
“Bro, ntar malam kita nonton festival meriam karbit ya”. Pesan singkat Mas Andreas di telepon genggamku.
“InsyaAllah, Mas. Mudah-mudahan tidak hujan”. Balasku
Aku tidak mengiyakan ajakan itu. Aku hanya menyarankan kalau mau nonton festival itu mesti berangkat agak awal untuk menghindari macet di jembatan tol kapuas. Apalagi kalau menggunakan kendaraan roda empat.

Konon, festival ini napak tilas perjuangan pendiri kota ini. Dahulu ketika akan memasuki kawasan ini diganggu oleh hantu yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama kota ini. Pontianak.
Kendatipun tahun lalu festival ini tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI), entah kenapa aku tak terlalu suka dengan pertunjukan hingar-bingar itu. Menurutku menapak tilasi perjuangan pendiri kota ini tidak sesederhana itu. Aku mengagumi Masjid Jami’ dan Keraton yang berdiri anggun di muara persimpangan sungai Kapuas dan sungai Landak. Walaupun diam-diam aku juga prihatin akan nasib cagar budaya ini.
Bagiku, dentuman meriam, pendirian masjid Jami’ dan Keraton mesti dimaknai sebagai momentum awal “perang” melawan kemungkaran dan menegakkan moralitas kemanusiaan menuju tatanan hidup di bawah panji kesultanan (pemerintahan) yang adil dan makmur.

“Mas bisa nonton festival meriam sambil santai di Cafe Serasan sekaligus menikmati hidangan khas Pontianak”, saranku.
Ada banyak cafe di sepanjang pinggiran sungai Kapuas yang menyuguhkan aneka hidangan dengan nuansa panorama sungai Kapuas. Salah satunya yang kutahu, Cafe Serasan. Cafe yang setiap malam minggunya selalu ramai dikunjungi pasangan muda-mudi. Pengunjung bisa bermanja ria sambil menikmati hidangan dengan ayunan lembut riak gelombang dan terpaan angin malam sungai Kapuas. Kadang dilengkapi dengan iringan musik. Pada hari tertentu kota ini juga menyediakan wisata sungai kapuas dengan menggunakan motor air.

“Kami sudah tiba di Cafe Serasan, pesan dua meja”. Demikian isi pesan singkatnya masuk di telepon genggamku lagi.
Aku belum membalasnya. Di rumahku masih ada tamu. Seorang teman datang mengantarkan uang. Dia membayar hutangnya beberapa waktu lalu. Walaupun sudah kubilang bahwa aku tidak terlalu memerlukan uang itu, bahkan mungkin dia lebih memerlukannya. Tapi aku berusaha mengerti, temanku yang sudah menuju ke rumahku tak mungkin kularang. Mungkin dia berfikir bahwa di saat seperti ini dengan budaya lebaran yang serba pamer sandang, pangan, dan papan aku lebih memerlukan uang itu.
Dentuman meriam karbit satu persatu mulai terdengar. Setelah mencicipi contoh kue lebaran, temanku, Qomar pamit pulang.

Belum sempat membalas pesan singkat dari Cafe Serasan itu, aku bergegas mengambil kunci sepeda motor. Lampunya mati. Jam menunjukkan 20.35. Waktu Indonesia di Pontianak.
Setelah membayarkan zakat fitrah keluargaku kepada seorang mustahiq, pelan-pelan kususuri jalanan malam itu mengandalkan terangnya lampu jalanan kota. Tiba di pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Ramai sekali pengunjung lalu lalang. Di pelataran lantai dasar kerumunan manusia menyaksikan pertunjukan bedug dengan personilnya berbusana khas Melayu. Kali ini syiar justru bergema di pusat perbelanjaan. Si pemilik modal ternyata mendesain suasana malam ini menjadi khidmat. Pengunjung pun membludak.

Setibanya di Mega Mall, toko-toko penjual busana sudah mulai tutup. Bahkan ketika buru-buru aku memasuki salah satu toko yang sudah berkemas mau tutup, seorang pelayan perempuan menegurku sopan, “Maaf, sudah tutup Mas”.
Hatiku berdebar cemas. Segera kulangkahkan kakiku menuju pojokan sana. Masih ada satu toko yang buka. Sebuah busana wanita motif batik kusambar saja. “Mudah-mudahan isteriku berkenan”, gumamku.
Sebenarnya si pemilik toko kudengar sudah memerintahkan anak buahnya untuk menutup toko itu, tapi pembeli masih sangat ramai. Antrian di kasir mengular cukup panjang. Kukira aku antrian yang terakhir, eh nyatanya masih beberapa orang lagi di belakangku.

***

Setelah khutbah usai, para jamaah bersalam-salaman satu sama lain. Aku segera menyeruak ke depan bermaksud menyalami khatib dan imam shalat ‘id sambil sesekali melirik muka para jamaah yang kusalami, memang banyak diantara mereka yang tampak bekas tangis di wajahnya. Kusalami kyai kampung itu dengan ucapan “ja’alanallah minal ‘aidin walfaizin, kullu ‘am waantum bikhair. Mohon maaf lahir dan batin”, kami pun saling berangkulan dalam dekap tangis kemenangan. Teringat sosok seorang kyai yang kabarnya sedang sakit. Semoga beliau dianugerahi kesembuhan.
Dalam hatiku bergumam, “pantesan Gus Dur membela kyai kampung, karena pancaran wajahnya memang menunjukkan ketulusan”.

Pulang dari masjid kami bersiap-siap sowan ke orang tua kami.
Sesampainya di rumah kulihat isteri dan kedua anakku sudah bersiap-siap mau berangkat. Kuciumi mereka satu persatu, si kecil yang baru berumur dua bulan tampak tertidur. Air mataku kembali mengalir melihat tawa riang si sulung yang sudah menginjak usia dua tahun. Kami larut dalam peluk cium kehangatan keluarga.

Tiga tahun yang lalu ketika masih bertunangan, aku sudah pernah membayangkan suasana bahagia ini ketika sedang sendiri di sebuah kamar kosku yang sempit. Tapi kenyataannya memang beda, kebahagiaan ini lebih nyata dan terasa lebih dari sekedar yang kubayangkan di alam imajiku dulu. Indah tapi hayali. Barangkali suasana seperti ini yang kerap dialami para pujangga yang lagi kasmaran sehingga mengalir berkecipak lahar dingin kata-kata puitisnya. Hidup laksana di surga. Serba indah tanpa bencana. Walaupun kemudian acapkali berubah menjadi lahar panas ratapan bahkan sumpah seranah tatkala cintanya kandas di pinggiran muara sungai kapuas. Dan neraka pun menjelma dalam hidupnya. Hidup penuh bencana. Seakan hidupnya berbantal tsunami berselimut gempa bumi.

***

Jalanan tampak lengang. Kami berempat berjejal di atas sepeda motor made in negeri Sakura yang sudah terasa berat gerakannya. Aku di depan, si sulung di tengah, di belakang istriku memangku si kecil.
Keluar dari komplek perumahan, perlahan kami susuri jalanan kota, mulai jalan Panglima Aim, Tanjung Raya II, Sultan Hamid II, menyeberangi jembatal tol kapuas, berbelok ke arah Tanjungpura, Rahadi Oesman, Pak Kasih, Kom Yos Sudarso, dan menyeberangi jembatan kecil menuju jalan Pramuka keluar dari kawasan Pontianak. Memasuki daerah pemekaran baru. Kubu Raya. Kabupaten yang baru genap berusia dua tahun.
Lalu lalang kami berpapasan dengan kebanyakan para keluarga yang kami kira tujuannya sama dengan kami. Silaturrahim. Sungkem, sowan, atau apalah istilahnya.

Sepanjang jalan rumah-rumah dan penghuninya tampak berseri-seri. Para pengurus masjid sibuk mengemaskan tempat bekas jama’ah shalat ‘id. Di hari yang fitrah ini masjid-masjid tampak over kapasitas jama’ah, sudah lazim bahwa di hari ini masjid menjadi pusat arus mudik lahir (batin?) manusia kepada sang Khaliqnya. Bahkan tak cukup sekedar masjid, lapangan alun-alun kapuas yang setiap harinya jadi jalan umum dan pada moment tertentu jadi tempat upacara adat kesukuan sampai upacara militer kenegaraan, tempat yang malam minggunya ramai oleh liburan keluarga bahkan nun di pojokan gelap sana setiap malam menjadi tempat transaksi mesum itu kini disulap jadi masjid terbuka dengan jamaah rutin tahunan. Tangis musiman.

Di alun-alun kapuas itu pula kulihat sampah koran berserakan mengotori jalan raya. Tampak pula para petugas kebersihan berjibaku dengan koran-koran bekas itu bersama para “pecinta kebersihan” di kota ini. Pun begitu ketika kami tiba di pinggiran kota, di halaman sebuah masjid tampak koran-koran bekas berserakan di sana-sini sampai ke jalan raya. Entah tema apa yang disampaikan sang khatib tadi saat berkhutbah di hadapan jama’ahnya itu. Mungkinkah khatib lupa dengan kondisi faktual di depan matanya untuk sekedar mengingatkan kepada jama’ahnya agar senantiasa menjaga kebersihan yang haqqul yaqin para jama’ah itu hafal di luar kepala bahwa “kebersihan sebagian dari iman”. Atau sekedar menganjurkan kepada jama’ahnya agar koran-koran bekas sujudnya ditumpuk jadi satu atau beberapa tumpukan di sisi kiri atau kanan jalan. Mereka yang semestinya turut merayakan lebaran justru disibukkan dengan koran-koran bekas sujud saudaranya. Salah kaprah memaknai euforia lebaran.

***

Hari ini minggu, 27 September 2009, lebaran ketupat. Turunan lebaran idul fitri. Setelah idul fitri 1 syawal konon disunahkan puasa enam hari, biasanya dimulai sejak hari kedua syawal dan seterusnya sampai enam hari lamanya. Atau di hari lain masih di bulan Syawal. Kalau puasa sebulan ramadhan lebaranya lebih meriah wajar, karena puasanya wajib dan waktunya lebih lama, sebulan. Lebaran ketupat ini lebaran dari puasa sunah enam hari tersebut.
Aku teringat kata khatib waktu idul fitri itu, ada hadits yang mengatakan bahwa kalau puasa ramadhan kemudian ditambah enam hari puasa syawal, maka (pahalanya) diibaratkan puasa setahun penuh.

Qomar, temanku yang pandai matekatika suatu hari iseng coba membuat hitungan matematis. “ini matematika pahala ya”, katanya.
“Puasa ramadhan tiga puluh hari ditambah puasa syawal enam hari, maka totalnya tiga puluh enam hari. Kalau bonus pahalanya digandakan jadi sepuluh kali lipat maka akan ketemu angka tiga ratus enam puluh. Mendekati hitungan hari dalam setahun, jadi sangat rasional”, tambah pemuda gempal ini. Kami tertawa ringan saja mendengar matematika pahala ini.
“yang jelas puasa ramadhan itu hak prerogatif Tuhan Yang Maha Online”, sanggahku disusul tawa teman-teman yang suka tadarrus-online menunggu sahur tiba atau keasyikan main games online di siang harinya sampai menjelang tiba waktu berbuka puasa. Sepanjang ramadhan. Sampai tiba waktunya, tersentak sadar tatkala takbir kemenangan menggema melepas kepergian bulan yang penuh keistimewaan di dalamnya. Dan air mata pun mengiringi kepergian ramadhan disambut kumandang takbir kemenangan. Sambil terisak terucap “Selamat jalan ramadhan, semoga tahun depan berjumpa lagi”. Allahu Akbar


Kubu Raya, Syawal 1430 H.
Share on Google Plus

Tentang Unknown

Lahir di Karimunting, Sungai Raya Kepulauan, Sebuah desa di Pesisir Bengkayang Kalimantan Barat. Bertumbuh kembang dari situasi sosial Kalimantan Barat yang kadang adem ayem, kadang menegangkan, kadang mencekam, dan kadang kabut asap. Kini tinggal di Relokasi SP 1 Madani, Mekar Sari, Sungai Raya Kubu Raya.
Diberdayakan oleh Blogger.