Masa Depan Perdamaian di Kalimantan Barat

Bagaimana Masa Depan Perdamaian di Kalbar?
(Refleksi 10 Tahun Konflik Sambas)

Setidaknya ada dua kutub pandangan dalam melihat masa depan perdamaian dan rekonsiliasi di Kalimantan Barat pasca kerusuhan/ konflik sosial Sambas yang terjadi pada tahun 1999, sebagaimana juga terhadap konflik sosial yang terjadi pada tahun 1997.
Kedua konflik ini sama-sama masih menyisakan persoalan serius yang perlu mendapatkan perhatian dari pemangku kebijakan (pemerintah daerah dan pusat) dan masyarakat sipil di Kalimantan Barat khususnya dan Indonesia umumnya.

Kompleksitas persoalan seperti, bercampurnya isu dan kepentingan, tumpang tindih sebab dan akibat, fakta terpenggal bahkan pengaburan fakta kronologis, data parsial, partisipan konflik yang semakin meluas pada strata sosial masyarakat, faktor luar dan provokator merupakan deretan persoalan yang turut memperkeruh suasana saat terjadinya konflik tersebut. Kendatipun sudah muncul berbagai temuan dari berbagai penelitian, akan tetapi konflik sosial tersebut juga masih menyimpan berbagai misteri yang tentu merangsang para peneliti untuk terus meneliti ulang seputar tema konflik itu.

Berbagai pandangan dan hipotesis telah dikemukakan untuk menganalisis terjadinya konflik. Ada pandangan bahwa transisi politik dari otoritarianisme menuju demokratisasi diduga sebagai salah satu variabel antara terjadinya berbagai konflik komunal di Nusantara yang multikultural ini. Keadaan ketidakpastian di masa transisi rezim telah menyebabkan gejala lemah dan gagalnya negara (weak state, failure state) dalam menegakkan aturan dan kontrol terhadap masyarakat.(Cahyono, 2008).

Tulisan ini tidak diharapkan terjebak pada tumpang tindihnya sebab-akibat, apalagi turut dalam perdebatan seputar kronologi awal terjadinya konflik yang masih simpang siur itu. Tulisan ini berupaya melihat pada masa depan perdamaian yang menjadi dambaan masyarakat Kalimantan Barat.

Ada pandangan yang melihat masa depan perdamaian di Kalimantan Barat dengan optimis, sebaliknya ada pula yang pesimis.
Yang optimis melihat, sebagian dari mereka masyarakat sipil yang selama ini telah melakukan berbagai upaya pendekatan baik melalui hubungan personal, silaturrahim, hubungan bisnis, maupun kalangan aktifis perdamaian yang selama ini masuk melalui kegiatan-kegiatan penyadaran dan pembangunan perdamaian (peace building) berkelanjutan.

Optimisme itu muncul sebagai respon bahwa selama ini kerja-kerja kemanusiaan dan pembangunan perdamaian di lapangan cukup banyak melibatkan peran serta masyarakat yang pernah berkonflik dan melalui indikator capaian hasilnya cukup memberikan indikasi positif. Bahkan sebagian sudah muncul kesadaran “para komandan perang” untuk turut serta dalam kegiatan membangun perdamaian berkelanjutan.
Di kalangan organisasi masyarakat sipil, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga terjadi setidaknya dua pandangan yang berbeda dalam melakukan pendekatan terhadap penanganan konflik sosial tersebut.

Ada yang langsung masuk melalui isu-isu konflik dan advokasi kebijakannya. Ibaratnya sebuah luka, maka yang harus mendapatkan perawatan serius langsung pada luka tersebut. Diantara kegiatan lapangan yang dilakukan seperti, dialog kebijakan, dialog multikultural, kunjungan silang, kegiatan budaya keagamaan, dan sebagainya.

Ada pula yang masuk melalui isu-isu pemberdayaan masyarakat dan lingkungan. Diyakini bahwa konflik juga terkait dengan kesejahteraan masyarakat, maupun isu lingkungan kaitan dengan konflik penguasaan sumber daya alam yang acapkali dengan adanya ekspansi pemodal menjadikan masyarakat yang mestinya sebagai tuan tanah justru dijadikan “tamu” di rumahnya sendiri. Karena konflik akibat adanya ketidakseimbangan dalam kekuasaan politik dan penguasaan ekonomi dengan mudah mengambil bentuk etnis, agama, dan budaya.(Kleden, 2004).
Diantara kegiatan yang dilakukan seperti, pemberdayaan ekonomi, dialog pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan, tentu tidak kalah pentingnya penyadaran bahwa kita bagian dari entitas masyarakat majemuk yang bisa berbeda identitas suku, agama, dan budaya. Kegiatan seperti ini ibarat makan bubur panas, memakannya dengan cara pelan-pelan dari tepi.

Jika merujuk pada teori perdamaian (Johan Galtung, 2005) tentang perdamaian positif dan negatif, maka bandul optimisme perdamaian di Kalimantan Barat sedang bergerak (perlahan?) dari perdamaian negatif menuju perdamaian positif.

Bagaimana dengan kalangan yang pesimis?

Sebagian kalangan ada pula yang pesimis melihat masa depan perdamaian di Kalimantan Barat. Hal ini didasari pada kecenderungan setiap kali terjadi konflik di Kalimantan Barat tidak pernah dilakukan penanganan secara tuntas.
Berkaca pada idealnya sebuah proses perdamaian, dimana salah satu prasyaratnya adalah adanya pengungkapan kebenaran. Dari beberapa kali terjadi kerusuhan, kurun waktu sejak tahun 1967 (“demonstrasi Cina”) sampai tahun 1999 (kerusuhan Sambas) belum pernah ada pengungkapan kebenaran dan proses hukum sehingga tidak pernah menyeret para pelaku kerusuhan ke meja hijau, dan penanganan konflik dianggap selesai manakala para korbannya sudah tidak lagi berdiam di penampungan.

Dengan kebiasaan buruk itu, maka tidak pernah memberikan efek jera kepada para pelaku kerusuhan. Dan dengan mudah pula provokator kerusuhan sewaktu-waktu beraksi lagi.
Jika mengacu pada perdamaian model Nelson Mandela di Afrika Selatan, maka pesimisme perdamaian yang terjadi di Kalimantan Barat adalah perdamaian semu.
Pendekatan penyelesaian yang berjalan selama ini pun cenderung kultural, dan tidak bertaut secara struktural. Bahkan terjadi horizontalisasi persoalan, diopinikan bahwa masyarakat yang terlibat konflik belum bisa berdamai.

Ironi, isu perdamaian pun kalah seksi dengan isu lingkungan dan investasi. Apalagi kalau selama ini ada kesan masyarakat sipil di Kalimantan Barat memandang perdamaian sebagai persoalan pihak-pihak yang terlibat konflik semata, bukan persoalan kemanusiaan yang perlu kepedulian semua pihak.

Kalimantan Tengah kiranya menjadi model lain perdamaian di Indonesia. Propinsi tetangga yang saat ini dipimpin gubernur “putra daerah” itu mampu memadukan pendekatan struktural dan kultural secara bersamaan, terpadu dan manusiawi.


Dimuat (setelah proses editing) di Majalah KALIMANTAN REVIEW No. 169/ Th. XVIII/ September 2009.
Share on Google Plus

Tentang Unknown

Lahir di Karimunting, Sungai Raya Kepulauan, Sebuah desa di Pesisir Bengkayang Kalimantan Barat. Bertumbuh kembang dari situasi sosial Kalimantan Barat yang kadang adem ayem, kadang menegangkan, kadang mencekam, dan kadang kabut asap. Kini tinggal di Relokasi SP 1 Madani, Mekar Sari, Sungai Raya Kubu Raya.
Diberdayakan oleh Blogger.